
Ketika Kerinduan Itu Tak Lagi Bisa Dibendung: Perjalanan Umrah Mandiri Pertama Kami
Ada satu kerinduan yang tak pernah padam, meski bertahun-tahun berlalu. Sebuah harapan yang terus tumbuh, meski seringkali terasa jauh dan tak tergapai. Itulah rindu kami kepada Baitullah — rumah Allah yang agung, tempat para hamba sujud dan air mata luruh dalam munajat.
Tahun 2024, kami pertama kali menginjakkan kaki ke tanah suci. Saat itu, kami memilih berangkat secara mandiri. Tidak lewat travel, tidak pula dengan rombongan. Hanya kami dan niat yang bulat. Sebab utama? Biaya yang lebih hemat, dan hati yang ingin merasa lebih dekat dengan proses perjalanan itu sendiri.
Waktu bergulir. Bertahun-tahun berlalu. Tapi kerinduan itu tak pernah benar-benar surut. Justru makin menguat. Hingga suatu malam di akhir tahun 2023, saya terdiam di atas kasur, memandangi layar ponsel. Jari ini menggeser halaman demi halaman Instagram, melihat orang-orang yang bisa umrah dengan biaya yang tampaknya begitu murah. Rp12 juta, Rp15 juta. Tiket murah, hotel nyaman. Dalam hati saya bertanya: "Bagaimana bisa? Apa benar semudah itu?"
Ketika Harapan Bertemu Keyakinan
Padahal, saat itu tabungan kami bahkan belum sampai angka Rp10 juta. Tapi entah kenapa, hati saya tidak bisa berhenti membayangkan: "Andai aku dan keluargaku bisa berangkat kembali ke tanah suci, bersama-sama, kali ini lebih lengkap, lebih khusyuk."
Saya mulai membuka Skyscanner, mencari-cari rute dari Solo, Jakarta, hingga Kuala Lumpur dan Singapura. Ada harapan, tapi juga kenyataan: uangnya belum ada. Namun ada satu hal yang pasti — kerinduan kami makin dalam.
Saya ceritakan ke istri. Kami hanya bisa tersenyum getir. "Kita tabung saja dulu ya, mungkin tiga tahun lagi kita bisa berangkat sekeluarga." Tapi rindu ini tak bisa menunggu tiga tahun. Ia terus mengetuk, setiap hari, setiap malam. Saya terus cari informasi. Tentang paspor, tiket, hotel, visa. Tentang umrah mandiri yang kata orang ribet. Tapi saya percaya: kalau Allah sudah undang, tak ada yang sulit.
Jalan yang Allah Bukakan
Satu persatu jalan mulai terbuka. Tabungan kami perlahan bertambah. Kakak ipar kami, istri dari almarhum abang, menyampaikan keinginan untuk memberangkatkan mamak — menunaikan nazar almarhum. Tapi ia ragu bisa berangkat sendiri. Lalu kami berpikir: bagaimana kalau kita berangkat bersama-sama?
Namun dananya belum cukup. Untuk berangkat sekeluarga, kami butuh lebih. Dan saat itulah, terbersit sebuah ide yang berat: menjual mobil pribadi kami. Kendaraan yang menemani hari-hari kami. Saya sampaikan ke istri. Awalnya ia keberatan. Tapi malam itu, Allah menggerakkan hatinya melalui sebuah ceramah Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri. Tentang keutamaan haji dan umrah. Tentang betapa besar dosa jika kita mampu namun menunda-nunda. Istri saya menangis. Dan keesokan harinya, ia berkata: "Kalau memang harus dijual, jual saja. Yang penting kita berangkat."
Mobil kami poles. Saya upload fotonya ke forum jual beli. Tak sampai lima menit — banyak yang menawar. Hari itu juga, mobil terjual. Saya duduk terdiam. Air mata menetes. Ini bukan sekadar transaksi. Ini adalah jalan yang Allah bukakan — tanda bahwa undangan-Nya telah tiba.
Rintangan dan Pertolongan-Nya
Lalu dimulailah proses yang lebih serius. Pembuatan paspor, pemesanan tiket, pengurusan visa. Tapi satu masalah belum terjawab: bagaimana cara mendapatkan visa umrah secara mandiri?
Saya DM beberapa travel, masuk grup WhatsApp yang sepi, cari di mana-mana. Hingga Allah pertemukan saya dengan konten Kang Tresnamayung. Dari situ, saya masuk ke grup Telegram yang isinya orang-orang dengan niat tulus, informasi terbuka, dan semangat tinggi. Dari sinilah semuanya mulai jelas.
Paspor kami urus, tapi rintangan kembali datang. Kuota pembuatan paspor penuh. Kami gunakan jasa. Tapi saat jadwal tiba, anak ketiga kami sakit dan harus dirawat. Lalu muncul tiket promo Rp8 juta-an, tapi kami belum bisa ambil karena paspor belum selesai.
Akhirnya kami dapat tiket Etihad seharga Rp9,3 juta, via Kuala Lumpur dan Abu Dhabi. Tapi saat memesan untuk rombongan 11 orang, ada kesalahan penulisan nama endorser. Kami batalkan, lalu pesan ulang. Alhamdulillah, tak kena penalti. Tiket aman.
Kami booking hotel. Tadinya mau pisah-pisah, tapi tak tega membiarkan orang tua sendiri. Kami sepakat: semua harus merasa nyaman. Kami pilih hotel yang bagus dan dekat masjid, meski sedikit lebih mahal. Ini bukan sekadar perjalanan. Ini perjalanan hati.
Keberangkatan dan Keajaiban-keajaiban Kecil
Transportasi kami atur. Visa kami urus lewat admin KUMAN. Semua dimudahkan. Satu per satu batu penghalang diluruhkan oleh-Nya. Tapi belum selesai.
H-20, saya mulai khawatir dengan waktu transit yang pendek. H-15, anak keempat kami sakit. H-5, anak ketiga kembali demam. H-4, keponakan yang ikut umrah dirawat. Tapi Subhanallah, semuanya sembuh tepat waktu. Bukankah ini bukti bahwa Allah-lah sebaik-baik pengatur?
Hari keberangkatan tiba. Setelah Subuh kami berangkat. Ferry ke Johor, lalu mobil ke KLIA. Kami bertemu Ustadz Abu Fairuz yang sedang mengantar mahasiswanya ke Yaman. Di bandara, kami diprioritaskan karena membawa anak dan orang tua. Semuanya dimudahkan.
Transit di Abu Dhabi hanya 1 jam 35 menit. Kami lari, naik buggy car. Nyaris ditinggal. Tapi ternyata nama kami sudah dicatat — kami ditunggu. Allahu akbar.
Sesaat sebelum boarding ke Jeddah, kami sadar tablet tertinggal di pesawat sebelumnya. Tapi pramugari meyakinkan, bisa dilacak. Kami ikhlaskan.
Anak-anak kami diberi makanan tambahan oleh kru pesawat. Sungguh pelayanan yang luar biasa. Kami mendarat di Jeddah dengan penuh rasa syukur. Imigrasi lancar. Driver sudah menunggu. Dan saat dicegat petugas di bandara, visa kami sudah terdata. Kami langsung lewat.
Kami pandang satu sama lain. Air mata tak bisa dibendung. Kami berhasil. Bukan karena hebatnya kami. Tapi karena Allah membuka jalan saat hati kami yakin dan niat kami lurus.
Penutup
Perjalanan ini adalah bukti bahwa kerinduan kepada Allah tidak akan dikhianati. Meski berat, meski penuh rintangan, jika kita melangkah dengan keyakinan dan tawakal, maka Allah akan kirimkan pertolongan-Nya — melalui cara yang tak pernah kita duga.
Kami datang sebagai tamu-Nya. Dan kami pulang sebagai hamba yang lebih tunduk, lebih bersyukur, lebih yakin bahwa tidak ada yang mustahil jika Allah sudah berkehendak.
Artikel ini adalah bagian dari serial: